Login Jamaah

Username

Password

  Lupa Password ?
Tidak punya akun ? Daftar Disini

Rekening Donasi

Bank Muamalat
no. rek. 0002 024 826
a. n. Yayasan Wisata Hati Jawa Tengah
Bank BRI Syariah
no. rek. 100 829 084
a. n. Yayasan Wisata Hati Jawa Tengah
Bank Mandiri
no. rek. 136 0000 1111 01
a. n. Yayasan Wisata Hati Jawa Tengah

( KEHIDUPAN ) SEBUAH RENUNGAN RAMADHAN MENJELANG PERTENGAHAN

Ditulis oleh Admin, tanggal 11 Juli 2015 | pukul 06:00:37 ( KEHIDUPAN ) SEBUAH RENUNGAN RAMADHAN MENJELANG PERTENGAHAN Ramadhan memasuki jelang pertengahan. Ritme ibadah semakin menyurut. Masjid-masjid mulai ditinggalkan jamaahnya. Sebagian masjid jamaahnya sudah tinggal separuh. Tak terdengar suara orang bertadarus. Membaca al-Quran. Sepi. Anak-anak muda hanya duduk-duduk. Ngobrol. Di malam hari lebih banyak mereka berkeliaran berboncengan motor atau mengendarai mobil, tak tentu arah. Laki dan perempuan. Mereka bukan muhrimnya. Ini menandakan kehidupan umat Islam mulai luruh. Masjid jamaahnya yang tersisa, tinggal orang-orang tua. Anak-anak mudanya tak lagi tertarik. Remajanya, bermain, berlari sambil membunyikan petasan. Kekusyukkan beribadah tak nampak

Ramadhan telah memasuki jelang pertangahan . Ada fenomena yang amat paradok. Getir dan menyayat. Setiap bathin. Siapa saja yang masih mempunyai hati. Hari-hari ini Jakarta mulai dipenuhi dengan yang disebut gepeng (gelandangan dan pengemis). Entah dari mana mereka. Setiap sudut jalan di Jakarta. Pasti menemukan pengemis, pengamen, dan pemulung. Jumlahnya tak sedikit. Mereka menyeruak. Di tengah-tengah kehidupan Jakarta. Kehidupan yang egois.

Di jalan-jalan, di angkutan, di emper-emper toko, di kereta, di pasar-pasar, dan kolong-kolong jembatan, dan tempat keramaian, mereka mencari kehidupan. Di mana-mana melihat pemandangan para pemulung yang membawa keluarganya, anak-anak dan isteri, sambil mendorong gerobak. Anak dan isteri mereka wajahnya pias dan letih, mengarungi sepanjang jalan, di tengah padatnya Jakarta. Mereka terkadang tidur di jalan-jalan. Di emper-emper toko. Di stasiun kereta. Dan, di kolong-kolong jembatan. Mereka mengejar harapan. Mereka mengejar belas kasihan. Mereka mengejar kemurahan dan keramahan. Mereka mengejar orang-orang yang masih mempunyai hati. Mungkin itu hanya ilusi. Ilusi orang-orang yang tersisih dalam kehidupan.

Ramadhan memasuki jelang pertengahan . Jakarta tetap padat dan sibuk. Seperti tak nampak Ramadhan. Kehidupan malam. Tak berubah. Hotel-hotel, tempat hiburan, cafe, dan tempat-tempat keramaian, terus dibanjiri pengunjung. Plaza. Semakin penuh pengunjung. Orang berbelanja ramai. Mereka membawa belanjaan. Tak kira-kira. Belanjaan yang aneka ragam. Orang-orang yang berduit tak peduli. Mereka menumpuk makanan. Seakan besok terjadi prahara. Mereka sudah mempersiapkan hari lebaran (idul fitri). Pakaian dan baju. Mereka mempersiapkan dan memilih. Apa saja yang mereka inginkan. Mereka sudah memilih tempat-tempat berlibur bersama keluarga. Sebagian pergi keluarga negeri. Inilah kehidupan yang paradok.

Hotel-hotel dan cafe ramai. Menjelang maghrib. Orang-orang yang berduit berkelompok dan berdatangan. Mereka menikmati berbagai macam hidangan. Setiap hotel dan cafe menyelenggarakan acara buka puasa. Kalangan ekskutif, politisi, birokrat, pengusaha, dan sejumlah artis, menyelenggarakan acara buka puasa, di tempat-tempat yang mewah. Makanan berlebih. Makanan serba nikmat dan lezat. Di rumah-rumah keluarga menyelenggarakan acara berbuka. Mereka berkumpul. Menikmati suasana Ramadhan. Kadang-kadang makanan yang berlebih dibuang di tempat sampah. Sisa-sisa makanan itu, yang terbuang disampah, dinikmati para pemulung, dan gelandangan.

Dari tahun ke tahun Ramadhan tak mempunyai makna apa-apa. Tak mengubah kualitas kehidupan umat. Mereka justru menjadikan Ramadhan sebagai tradisi. Bukan sebuah sarana memperbaharui kehidupannya. Menuju kehidupan baru. Sebagai orang-orang yang muttaqien. Orang-orang yang saling mengasihi. Orang yang saling menguatkan iman saudaranya. Sesama muslim. Ramadhan akan berakhir. Dan, orang semakin sibuk mengejar kehidupan dunia.

Muadz bin Jabal saat sakaratul menjemputnya di waktu fajar. Ia berdoa. Ya Allah. Sesungguhnya Engkau tahu aku menyukai kehidupan. Tetapi, bukan karena pohon yang aku tanam, sungai yang mengalir, rumah yang aku bangun, dan istana yang aku dirikan. Tapi, demi Allah, aku mencintai kehidupan ini, karena tiga hal: pertama berpuasa di hari yang panas, kedua melakukan qiyamul lail, dan ketiga ikut meramaikan halaqah dzikir.

Ramadhan bukan tradisi. Ramadhan bukan rutinitas. Kemenangan Islam yang pertama di perang Badr, di bulan Ramadhan. Karena Rasul bersama mereka para shahabat adalah yang orang-orang mencintai akhirat. Ramadhan bukan wasilah mengumbar syahwat perut, yang akan mencelakakan kehidupan manusia.Semoga. Wallahu alam

Dilihat Sebanyak : 0 Kali    |    Dikomentari : 0 Komentar
KIRIM KOMENTAR ANDA
Nama

Email

Komentar